Kami menggunakan cookies untuk membuat pengalaman Anda lebih baik. Untuk mematuhi petunjuk e-Pribadi yang baru, kami perlu meminta persetujuan Anda untuk menyetel cookies. Pelajari lebih lanjut .
Pembangunan infrastruktur dapat berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Pembangunan infrastruktur pada skala besar dapat menyumbang emisi gas rumah kaca di atmosfer bebas. Beton dikenal sebagai material konstruksi yang memiliki daya tahan yang kuat dan relatif lebih murah dibandingkan dengan material konstruksi yang lainnya. Akan tetapi dalam proses pembuatan beton, semen melepaskani gas karbondioksida ke udara bebas. Diperkirakan produksi semen menyumbang 7% terhadap emisi karbondioksida secara global. Hal ini disebabkan karena dalam prosesnya, semen dikonversi dari Calcium Carbonate (CaCo3) menjadi Calcium Oxide (CaO) yang melepas gas karbondioksida ke atmosfir bebas (Worerell, et al., 2001) sehingga dalam sudut pandang lingkungan, beton tidak dikategorikan sebagai material yang berkelanjutan (Gerilla, et al., 2007)
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia terus berkomitmen untuk membangun infrastruktur ke-PUPRan guna mendorong peningkatan daya saing nasional dan global. Target pembangunan terus ditingkatkan, diantaranya adalah pembangunan jalan nasional sepanjang 5.500 Km, pembangunan jalan tol baru sepanjang 3.500 Km, dan juga peningkatan pembangunan sanitasi dan air bersih (Visi 2030 Kementerian PUPR). Pembangunan infrastruktur yang ambisius ini akan menggunakan semen sebagai salah satu material konstruksi, baik dalam proses pembangunan maupun proses perawatannya. Selain itu, penggunaan material campuran beton seperti batu-batuan, pasir, kerikil yang diperoleh dengan cara ditambang akan berkontribusi secara langsung terhadap kerusakan lingkungan dan hilangnya habitat biota hidup yang ada di alam bebas.
Sebagai material yang cukup popular didunia konstruksi, penggunaan material beton mempunyai tantangan tersendiri khususnya ketahanannya yang rendah terhadap retak makro-mikro dan korosi pada tulangannya sebagai akibat dari masuknya air dari retak yang terjadi pada beton tersebut. Belum lagi, biaya perawatan beton yang cukup mahal dan dianggap tidak ekonomis. Walaupun microcrack tidak mengurangi kekuatan beton, akan tetapi apabila tidak ditangani secara serius maka akan mengurangi umur layan (service life). Oleh karenanya, diperlukan suatu inovasi beton yang terbaru, agar konstruksi beton dimasa yang akan datang lebih ramah lingkungan serta berkelanjutan.
Self-Healing Concrete (SHC) pada dasarnya adalah kemampuan dari beton untuk dapat menutup retak baik tanpa adanya intervensi dari manusia. Jika retak beton kurang dari 30 µm maka retak tersebut dikategorikan sebagai retak mikro sedangkan jika retakan lebih dari itu, maka dikategorikan sebagai retak makro (Zhang, et al., 2008).
Mekanisme self-healing dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu Autogenous dan Autonomous Self-Healing. Autogenous Healing merupakan kemampuan beton untuk dapat memperbaiki retak yang terjadi karena terjadinya reaksi kimiawi dalam beton karena pengaruh kelembapan dan juga tidak adanya tegangan tarik. Mekanismenya adalah dengan pengendapan kalsium karbonat dari bahan semen itu sendiri dan pemblokiran mekanis partikel-partikel yang ada kedalam retakan beton yang dibawa oleh air yang masuk kedalam retakan tersebut.
Selanjutnya didalam SHC dikenal juga Autonomous Self-Healing. Autonomus Self-Healing merupakan kemampuan beton untuk dapat menutup micro dan micro crack tanpa adanya intervensi dari manusia. Dalam prosesnya, Autonomous Self-Healing menggunakan mikroorganisme sebagai healing agent, contohnya adalah penggunaan bakteri. Beton merupakan suatu material yang mempunyai sifat Alkali yang tinggi, oleh karena itu mikroorganisme yang digunakan haruslah jenis bakteri yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap Alkali dan lingkungan yang cenderung ekstrim.
Adapun bakteri yang dapat digunakan didalam proses pengendapan CaCo3 dapat berupa bakteri yang aerobik maupun anaerobik. Bakteri aerobik adalah bakteri yang membutuhkan oksigen untuk dapat tumbuh, sedangkan bakteri anaerobik adalah bakteri yang tidak membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Sejauh ini, penggunaan healing agent ini dapat meningkatkan kuat tekan beton hingga 25-30% (Mohanadoss, 2015). Beberapa contoh bakteri anaerobik yang dapat digunakan adalah bakteri Pseudomonas, Thiobacillus, Denitrobacillus, Alcaligenes, Micrococcus, and Diaphorobacter (Seifan, et al., 2016). Bakteri Bacillus sporasarcina pasteurii, Bacillus sphaericus, Escherichia coli, Bacillus subtilis, Bacillus cohnii, Bacillus pseudofirmus, Bacillus halodurans, dan Bacillus massiliensis adalah contoh bakteri aerobik yang digunakan didalam campuran self-healing concrete yang memberikan hasil yang cukup baik.
Gambar 1. Healing Agent (sumber: Khushnood et al., 2022)
Beton adalah material yang bersifat alkali sehingga bakteri yang digunakan pada Self-Healing Concrete adalah bakteri yang harus tahan terhadap kondisi yang ekstrim terutama pada kondisi alkali (PH>8). Pengendapan Kalsium Karbonat (CaCo3) (induced calcium carbonat precipitation) yang dihasilkan dari reaksi kimia yang melibatkan antara bakteri dan beton akan dapat menutup retak micro-macro dan mengikat material-material seperti pasir, batu kerikil atau agregat di dalam beton tersebut.
Pada Self-Healing Concrete, bakteri akan aktif dari tidur panjangnya (dormant) ketika air masuk melalui retakan yang ada didalam beton. Uniknya, ketika bakteri ini sudah aktif dan lubang retak sudah tertutup sempurna oleh karena pembentukan Kalsium Karbonat/kapur, maka bakteri akan kembali lagi memasuki proses hibernasi dan akan aktif kembali ketika terjadi retakan pada permukaan beton. Metode penerapan healing agent atau bakteria dapat dilakukan dengan tiga jenis metoda sebagai berikut: (1) Injection/spray bacteria culture, (2) encapsulation bacteria, dan (3) pemberian bakteri secara langsung didalam campuran beton.
Gambar 2. Pembentukan Kalsium Karbonat pada Bakteri (sumber: Zhang et al., 2022)
Gambar 3. Metode Penerapan Healing Agent (sumber: Nodehi et al., 2022)
Gambar 4. Self-Healing Mechanism in Concrete (sumber: Ayteki et al., 2023)
Penerapan Healing Agent pada beton dapat memberikan hasil penutupan beton yang bervariasi tergantung dari konsentrasi bakteri yang digunakan kedalam campuran beton dan juga Nutrient Medium yang diterapkan pada bakteri tersebut. Sebagai contoh Bakteri dari jenis Bacillus pasteurii yang digunakan sebagai healing agent memberikan perbaikan terhadap kuat tekan beton sebanyak 45% (Lihat Tabel 1) sedangkan penggunaan Bacillus Pasteuri dalam Nutrient Medium Calcium Lactate memberikan hasil yang cukup baik yaitu penurunan corrosion rate sebesar 0.05 mm per tahunnya.
Selain itu, penggunaan jenis bakteri Bacillus Cohnii dengan konsentrasi 108 CFU/ml pada beton dilaporkan dapat menutup retak selebar 0.5 mm dan penggunaan bakteri Bacillus subtillis dalam campuran beton juga mampu menutup retak dengan rentan sebesar 0.4 hingga 0.6 mm (Lihat Tabel 2).
Tabel 1. Effect of Bacterial Strain on Bacterial-Based Self-Healing (sumber: Ayteki et al., 2023)
Tabel 2. Crack Healing Effect of Bacteria in Cementitious Systems (sumber: Ayteki et al., 2023)
Sebagai negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada (Katadata, 2018), banyak infrastruktur seperti jalan, gedung dan jembatan yang rentan terkena efek buruk dari kondisi air laut. Partikel klorida dari air laut yang terbawa hembusan angin dapat masuk secara perlahan melalui retakan pada permukaan beton sehingga menyebabkan korosi dan perlemahan terhadap umur beton. Di sisi lain, sebagai salah satu negara yang rawan terhadap bencana alam khususnya gempa bumi, bangunan dan fasilitas umum serta infrastruktur yang tersebar seringkali rusak, yang diakibatkan dari guncangan gempa bumi yang merusak struktur bangunan gedung. Oleh karenanya, potensi dari teknologi Self-Healing Concrete yang dapat menutup retak beton secara Autonomous, dinilai dapat menjadi salah satu solusi dan jawaban dari permasalahan yang serius ini.
Untuk menjawab isu terkait pembangunan yang berkelanjutan dan lebih ramah terhadap lingkungan, Kementerian PUPR telah menerbitkan Peraturan Menteri No 9 Tahun 2021 tentang konstruksi yang berkelanjutan (Sustainable Construction). Salah satu prinsip didalam konstruksi yang berkelanjutan adalah penggunaan material konstruksi yang berkonsep teknologi dan inovasi hijau (Green Technology) sehingga diharapkan dapat terus menurunkan efek buruk dari gas rumah kaca.
Penelitian dan penerapan Self-Healing Concrete di Indonesia pada practical engineering masih sangat sedikit. Ditambah lagi, langkanya tenaga ahli/expert yang fokus mendalami bidang ini di Indonesia, menjadikan tantangan tersendiri bagi pengembangan teknologi yang dapat menjadi solusi nyata terhadap penyediaan beton yang lebih ramah lingkungan di masa yang akan datang.
Tidak kalah pentingnya, dukungan dari pemerintah dan kerjasama sektor swasta serta industri beton yang di Indonesia menjadi kunci utama agar penerapan serta pengembangan inovasi beton ramah lingkungan ini terus meningkat popularitasnya di kemudian hari.
Novik Kurohman adalah seorang pengajar / widyaiswara di Kementerian PUPR RI yang memiliki pengalaman di dunia praktisi Jalan dan jembatan lebih dari 10 tahun. Novik merupakan lulusan S1 Teknik Sipil lulusan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan S2 bidang perencanaan infrastruktur di University of Stuttgart Jerman. Selain aktif sebagai widyaiswara di Kementerian PUPR, Novik juga menjadi narasumber pada seminar dengan topik pembangunan infrastruktur di Indonesia baik di level regional maupun nasional. Aktivitas lainnya adalah sebagai dosen tamu pada program praktisi mengajar Kementerian Pendidikan dan Kebudayan RI Tahun 2023 pada Jurusan Teknik Sipil di Politeknik Negeri Bali dan Universitas Nusa Putra Sukabumi.
Berikan komentarmu dan atau saran untuk meningkatkan kualitas artikel ini di kolom komentar! Anda juga dapat membagikan artikel ini kepada teman-teman atau kerabat yang sedang mencari informasi terkait melalui link sharing pada judul artikel.